Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Agustus 2010

Suara Hati Pemuda Indonesia (Bagian 1)

Oleh siswa ber-NISN 9928054605/mahasiswa ber-NPM 1006662004




Kenalkah Anda dengan lirik lagu berikut?

"Tanah airku Indonesia

Negeri elok amat kucinta

Tanah tumpah darahku yang mulia

Yang kupuja sepanjang masa

Tanah airku aman dan makmur

Pulau kelapa yang amat subur

Pulau melati pujaan bangsa

Sejak dulu kala

Melambai-lambai

Nyiur di pantai

Berbisik-bisik

Raja Kelana

Memuja pulau

Nan indah permai

Tanah airku

Indonesia"



Ya, itulah lirik lengkap dari sebuah tembang karya Ismail Marzuki. Lagu yang lazim digunakan sebagai lagu penutup siaran televisi ini mungkin sudah pudar di telinga kita. Namun, tahukah Anda bahwa pada tahun 1940 dan 1950-an lagu ini sering dijadikan sebagai lagu nostalgia untuk WNI yang bermukim di negeri Belanda? Wajar saja, lagu ini memang menceritakan keindahan alam Nusantara, baik flora, kepulauan, maupun pantainya. Sekadar penghapus rasa kangen terhadap tanah air nun jauh di mata.



Saya pribadi kadang terpesona ketika mendengarkan lagu ini sambil melihat suguhan tayangan apik dari stasiun televisi di akhir siarannya. Tayangan yang menggambarkan panorama alam yang indah dan keramahan rakyat yang tak perlu diragukan sampai kebudayaan yang memesona menjadi penutup manis ketika sebuah stasiun TV hendak menutup siaran dini harinya.



Muncul pertanyaan dalam benak, benarkah Indonesiaku sesuai dengan apa yang ada di tayangan tersebut? Saya teringat ketika saya belajar IPS di bangku Sekolah Dasar. Guru saya selalu mengelu-elukan Indonesia, terutama ketika mempelajari kondisi fisik dan budaya Indonesia. Saya sangat suka sekali mendengarkannya. Semuanya terasa menyejukkan telinga. Lain halnya saat belajar sejarah. Saya selalu harus memendam emosi karena kolonialisme dan imperialisme zaman dulu.



Lantas, saya duduk paling depan mendengarkan ucapan demi ucapan dari guru IPS saya. Negeri "Gemah Ripah Loh Jinawi" yang diceritakan oleh guruku memang tak akan pernah habis untuk selalu dibahas.



Masih terekam kuat di otak saya, negara agraris yang pernah diceritakan guruku beberapa tahun yang lalu itu bernama Indonesia. Disebut negara agraris karena mata pencaharian utama negara ini adalah petani. Namun, masih pantaskah gelar itu disandang Indonesia? Lahan pertanian digerus tembok industri, petani terpaksa menjadi buruh dan berurbanisasi, sampai bahan pangan sempat kita mengimpornya, itukah negara agraris yang pernah diceritakan guruku?



Tak hanya negara agraris, sebutan lainnya, yakni negara maritim. Hmm, pantas saja karena sebagian besar wilayah kita adalah lautan. Bahkan, laut bukanlah pemisah, melainkan pemersatu bangsa. Adakah masalah dengan sebutan negara maritim untuk sekarang ini? Bagaimana dengan armada Angkatan Laut kita? Bagaimana dengan kepedulian kita terhadap laut dan kekayaan di dalamnya?



Satu hal keunikan yang dimiliki oleh Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia sejumlah 17.508 pulau. Entah sekarang berkurang atau tidak, mengingat global warming yang kini tengah mengancam. Namun, tetap saja Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara kepulauan terbesar. Anugerah yang tak terkira dari Sang Maha Pencipta. Tak pelak julukan Nusantara yang berarti Kepulauan Antara disandang oleh negara yang berada di jalur lalu lintas perdagangan internasional pada zaman dahulu.



Saya sangat bangga mendengar jumlah yang fantastis pulau-pulau Indonesia yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Hmmm. . Apakah jumlah itu masih cukup valid? Mengingat Sipadan dan Ligitan harus dibagi dengan negara serumpun itu. Bagaimana nasib pulau-pulau terluar kita, terlebih lagi yang tak berpenghuni? Jangan-jangan sudah berkibar bendera negara lain dan diklaim milik negara lain. Atau, mungkin saja sudah terjadi transaksi jual beli atau sewa yang berujung hak milik. Alih-alih demi kepentingan ekonomi guna berinvestasi, namun berujung mengklaimnya. Mengapa harus pihak asing yang mengelola pulau-pulau rentan pindah tangan itu? Mengapa bukan kita-kita saja? Tak adakah daya kita sehingga kita menyerahkan begitu saja kepada pihak luar?



Saya selalu terlena mendengar penjelasan guru IPS-ku, terlebih ketika saya menduduki bangku SMP dan mengenal bidang studi Geografi. Hmmm, rasanya makin cinta pada Indonesia. Negara mana yang berada di garis khatulistiwa, namun memiliki es abadi? Negara mana yang subur karena tanahnya vulkanik, namun memiliki gurun pasir? Negara mana yang kata orang, lautnya tak dijumpai badai dan topan, bahkan dijuluki kolam susu? Hanya negara eks. Majapahit saja yang memiliki semuanya itu. Sungguh anugerah Sang Maha Pemurah yang wajib disyukuri! Negara yang begitu kaya!!



Apakah kita selama ini terlena dengan kekayaan yang kita miliki? Mulai dari flora yang konon memiliki 4.000-an jenis pohon, 1.500-an jenis pakis, dan 5.000-an jenis anggrek, hingga fauna purba yang kini hanya tersisa di Indonesia bernama komodo. Belum lagi, kekayaan barang tambang yang kita miliki. Minyak bumi, gas bumi, batu bara, panas bumi, sumber daya mineral tersebar di bumi pertiwi. Namun, pernahkah kita berpikir untuk menghemat semuanya itu? Menghemat demi anak cucu kita? Atau pernahkah kita berpikir untuk bertindak bijak terhadap kekayaan kita? Ini memang Pekerjaan Rumah juga untuk generasi saya guna mengubah semua pola pikir kita. Jangan pernah berpikir kepentingan ekonomi berada di atas segalanya!



Lanjutan ada di Bagian 2.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar