Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Agustus 2010

Sekolah Internasional Jangan Sampai Merenggut Nasionalisme

Oleh siswa ber-NISN 9928054605 / mahasiswa ber-NPM 1006662004




Obrolan singkat, namun berisi. Berbicara ngalor ngidul bersama seorang ibu yang menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah internasional di wilayah Tangerang. Demi mutu, tandasnya. Hmm, masuk akal sih. Mengingat sejuta fasilitas modern yang menunjangnya kurasa menjadi nilai tambah dalam pembelajaran.



Masalah biaya bukan masalah besar, yang penting si anak mendapat pendidikan yang berkelas. Di satu sisi, prinsip yang OK juga. Menginvestasikan harta pada pendidikan anak tak akan pernah rugi. Berjuta-juta rupiah mengalir ke kantong sekolah tiap bulannya. Bandingkan dengan SPP-ku sebagai pelajar SMA Negeri yang hanya Rp 185 ribu! Hufh. .



Si anak pun kupanggil. Memang kentara perbedaannya. Bahasa Inggris? Jangan ditanya! Empat aspek berbahasa dikuasainya. Bahkan sang ibu bercerita, si anak yang masih SD mampu mengarang hanya beberapa menit dalam bahasa Inggris. Gila! Fantastis! Mulailah diriku bercermin! Membuat tugas bahasa Inggris-ku saja (spoof, narrative, exposition, dsb) butuh waktu yang lama. Salut! Maklum lah, sebagian gurunya orang asing. Wajar lah!



Bahasa asing kedua adalah Bahasa Mandarin. Huaaa, guratan demi guratan huruf pin yin dengan lihai ia tunjukkan padaku. Aku makin tak mengerti apa yang ditulisnya! Sudah cukup, katakana dan hiragana dalam pelajaran Bahasa Jepang-ku saja aku kini masih buta!



Masih banyak lagi keterampilan lainnya yang diajarkan di sekolahnya. Balet, piano, renang, aritmatika, sains, dsb menjadi bagian dari kurikulum. Hebat juga ya!



Aku mencoba memberikan test kecil-kecilan. "Bunyi sila ketiga Pancasila apa?", tanyaku. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala menandakan tidak tahu. Baiklah, pertanyaan kuganti, "Dasar negara kita apa?" Gelengan kepala lagi yang kudapat. Kucoba dengan cara lain, "Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita. Tanah air pasti jaya untuk selama-lamanya. ." Si anak pun tak dapat mengikuti lantunan nyanyian tersebut. Dalam hatiku berteriak, "WOI, HATI LO MERAH PUTIH, BUKAN SIH?"



Huh, terserah deh. Kurikulum internasional yang menjadi acuan untuk proses pembelajaran di sekolah internasional pun seyogyanya disesuaikan dengan kurikulum nasional. Agar PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, SEJARAH, dan SENI BUDAYA dapat mendarah daging dalam diri anak. Miris melihat anak yang dengan lantang berbahasa asing, namun tak mengerti sama sekali apa itu Indonesia. Penanaman nilai-nilai Indonesia sudah selayaknya digencarkan kembali melalui bidang studi khusus, seperti PMP atau PSPB pada kurikulum 1987 agar kita tak lupa pada jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Tugas kita bersama agar generasi penerus tak kian tergerus oleh westernisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar