Total Tayangan Halaman

Sabtu, 21 Agustus 2010

Betawi yang Tercecer di Jalan

Tahukah Anda bahwa Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat dahulu bernama Miyako pada zaman Jepang dan Nasau Boulevard pada zaman Belanda? Tahukah Anda juga bahwa Jalan R. P. Suroso adalah pengganti Gondangdia yang melegenda, atau Jalan Proklamasi kini, dahulu adalah tempat memelihara (angon) angsa alias Jalan Pegangsaan?




Belanda tak segarang bangsa kita dalam hal gonta ganti nama jalan. Mereka hanya mengarang untuk jalan baru. Sebutan lokal, seperti Menteng, Salemba, dan Angke dipertahankan. Di Eropa yang kaya tradisi, nama jalan memang haram diganti, apalagi jika bernilai historis tinggi.



Jakarta tempo doeloe alias Batavia kuno berawal dari Kota dengan pengertian "kota lama". Meski bukan lagi ungkapan resmi, nama Kota tetap dilestarikan sopir dan kondektur angkutan umum yang mencantumkannya dalam nama trayek semisal jurusan Senen-Kota.



Di bekas hunian awal VOC di Pasar Ikan, ada daerah yang disebut Kota Intan. Lengkap dengan menara syahbandar dan jembatan yang menghubungkan bekas benteng Belanda dan Inggris. Apakah itu dulu tempat menambang intan? Bukan. Nama itu ngetop lantaran Belanda suka mengibaratkan keindahan bastion (bagian dari benteng) dengan batu permata, seperti safir, intan, rubi, atau mutiara.



Di dekatnya terdapat masjim tua Luar Batang. Ada versi yang menyebutkan, nama itu terkait dengan batang pohon tua yang dipalangkan di muara Sungai Ciliwung saban malam untuk mencegah keluar masuknya perahu tanpa membayar pajak. Namun menurut cerita lain, nama itu berasal dari seorang ulama legendaris Jakarta, Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus. Keinginan sang Habib mendirikan mesjid di Batavia ditolak VOC. Karena itu, ia pun mendirikan bangunan ibadah di sebuah atol di luar Batavia. Lokasinya biasa menjadi tempat tambatan perahu, penduduk setempat mengistilahkannya Luar Batang. Perhitungan sang Kyai tepat, atol itu lambat laun menyatu dengan daratan. Kini, masjid buatan tahun 1739 itu masuk wilayah Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.



Soal tempat hiburan. Sebelum ada Taman Impian Jaya Ancol, tempat rekreasi paling terkenal adalah Sampur, Tanjung Priok. Pada hari libur, pengunjungnya membludak. Nama Sampur diambil dari kata zandvoort. Belakangan diketahui sebutan serupa ada di negeri Belanda untuk tempat pemandian yang elok.



Dekat Stasiun Kota, terdapat pusat perdagangan Mangga Dua. Siapa menyangka sejak abad ke-18, wilayah itu sudah menjadi pusat hiburan. Mangga Dua sendiri mulanya tidak bernama. Penduduk setempat menamainya Mangga Dua karena di sana tumbuh sepasang pohon mangga.



Trade mark Kota sekarang, Glodok, konon sudah didiami pemukim Cina jauh sebelum J. P. Coen datang sekitar awal abad ke-17. Setelah pemberontakan besar orang Cina tahun 1740 dengan korban sekitar 10.000-an orang, Glodok resmi menjadi pecinan. Pasca pemberontakan orang Cina tidak boleh lagi tinggal di Batavia. Jadi, Glodok sebenarnya merupakan areal pengungsian.



Ada yang bilang, kata Glodok berhubungan dengan rerumputan bernama krokot yang banyak tumbuh di daerah itu. Namun, versi lain menyangkalnya. Nama krokot lebih mungkin memunculkan nama Krekot (Pasar Baru) dan Krukut (pemukiman Arab). Adapun Glodok, sering juga disebut "Pancoran", dulunya tempat menjernihkan air. Proses mengambil air dari pancuran namanya grodjok. Sesuai lidahnya, orang Cina melafalkannya menjadi Glodok.



Perlawanan pemukiman Cina berdampak juga di tempat lain. Di Jatinegara, ada kampung bernama Rawa Bangke, konon bekas tempat pembuangan mayat para pemberontak. Pemberontak yang lolos sebagian kabur ke Tangerang, melahirkan daerah "Cina Benteng" dan sebuah perkampungan baru Mauk, dari nama pemimpinnya Ma Uk.



Masih di sekitar Kota, ada nama kampung berlatarbelakang kisah tragis seorang Indo Jerman-Thailand, Pieter Erberveldt. Pada tahun 1722, VOC menangkap Pieter yang dianggap membahayakan pemerintah Belanda di Batavia. Walaupun tuduhan pemberontakan tidak terbukti, Pieter tetap dihukum mati. Kaki dan tangannya masing-masing diikat pada empat kuda yang berlari keempat arah yang berbeda. Bisa Anda bayangkan akibatnya. Tempat luluhlantaknya tubuh Pieter dikenal sebagai Kampung Pecah Kulit (sekarang sekitar Jalan P. Jayakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar