Total Tayangan Halaman

Kamis, 16 Oktober 2014

IDEKU UNTUK PLN: Coretan tentang Ekonomi Ketenagalistrikan



Saat ini, kebutuhan listrik menjadi kebutuhan primer untuk masyarakat. Ketergantungan terhadap listrik dalam kehidupan sehari-hari tak terelakkan lagi, mengingat hampir semua barang kebutuhan sehari-hari mengandalkan listrik sebagai sumber energinya. Namun, sayangnya, fakta ini berbanding terbalik dengan rasio elektrifikasi di Indonesia yang sebesar 80,1 persen per September 2013 (dilansir dari laman Kementerian ESDM Republik Indonesia). Artinya, ada 20 persen rumah tangga masyarakat Indonesia yang tidak teraliri listrik. Di sisi lain, masih ada provinsi yang rasio elektrifikasinya di bawah 60%, yakni Papua dan Nusa Tenggara Timur, sementara sisanya sudah memiliki rasio di atas 60%.

Padahal, rasio elektrifikasi menjadi salah satu parameter atau indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu negara. Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu negara, dapat dikatakan semakin maju negara tersebut. Namun, fakta di lapangan menunjukkan berbagai kendala, seperti kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, lokasi sumber daya energi yang masih jauh dari pusat beban, dana pemerintah yang masih sangat terbatas, dan lain sebagainya.

Namun, saya tidak dapat menjabarkan semua permasalahan bidang ketenagalistrikan dalam tulisan blog yang sangat singkat ini. Saya tertarik melihat peran PLN sebagai penyedia listrik negara dan saya akan menggunakan kacamata ilmu ekonomi dalam tulisan ini.  Seperti yang sudah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu sasaran yang ingin dicapai oleh PLN adalah rasio elektrifikasi yang 100 persen untuk Indonesia. Namun, salah satu permasalahan yang saya kemukakan di atas adalah dana pemerintah yang terbatas. Padahal, alasan PLN bertindak sebagai satu-satunya penyedia listrik adalah sifatnya yang natural monopoly. Artinya, butuh dana investasi yang sangat besar untuk bergerak di bidang ketenagalistrikan ini karena fixed cost-nya yang besar, seperti membangun pembangkit, jaringan, dan berbagai infrastruktur lainnya.

Lantas bagaimana menghadapi dilema antara memenuhi target rasio elektrifikasi 100 persen dan biaya yang ditanggung tidak kecil? Saya teringat dengan materi kuliah Ekonomi Energi yang saya ambil sewaktu kuliah kemarin. Ada berbagai solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah ini, salah satunya menarik investor untuk masuk ke dalam industri ini. Jangan salah kaprah dulu, bukan berarti ada liberalisasi di bidang ini. Bukan berarti dikompetisikan di pasar secara bebas. Listrik swasta yang dimaksud adalah Independent Power Producer (IPP) yang berada di sisi pembangkit atau hulu. Kemudian, listrik ini dijual ke PLN melalui Power Purchase Agreement (PPA). Mengapa sektor pembangkit yang dibuka ke swasta? Ini untuk menggantikan biaya pembangkit yang menggunakan BBM yang cukup mahal per KWH-nya. Jadi, ada upaya penghematan di sisi pembangkit, sehingga masih ada celah yang dapat digunakan untuk ekspansi PLN guna mengembangkan pembangkit lainnya. Pemerintah juga dapat mendukung dengan memberikan insentif untuk mendukung investasi, seperti pembebasan pajak, jaminan risiko dari pemerintah, bunga bank yang dijamin oleh pemerintah, dan lain sebagainya. Cara lainnya, terutama di kota-kota besar atau industri, adalah memanfaatkan captive power yang biasanya digunakan oleh industri-industri besar di kawasan industri. Kelebihan dari captive power atau yang tidak digunakan dapat dijual ke pemerintah (dalam hal ini PLN). Tentunya dengan harga yang telah disepakati dan bersifat keekonomian (harga yang wajar, namun tetap menguntungkan untuk penyedia). 

Namun, hal yang perlu diingat adalah apapun dan bagaimanapun caranya jangan sampai ada pihak yang dikorbankan, termasuk konsumen. Bagaimanapun juga listrik adalah salah satu industri yang dilindungi oleh amanat UUD 1945 karena menguasai hajat hidup orang banyak. Rasio elektrifikasi boleh saja 100 persen, biaya boleh saja diminimalisasi sedemikian rupa, ekspansi PLN boleh saja dilakukan, namun tetap saja kemampuan bayar (willingness to pay) konsumen atau masyarakat Indonesia tetap harus diperhatikan. Jangan sampai konsumen tersetrum melihat tagihan rekening listrik. 

Ditulis oleh Andre Sunanta (andranta.broadcaster@gmail.com) 

Referensi:
Bahan Kuliah Ekonomi Energi (Dosen Deddy S. Priatna). Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEUI.
Laman Kementerian ESDM Republik Indonesia.