Total Tayangan Halaman

Rabu, 31 Desember 2014

2014...

Tahun 2014 ini menjadi salah satu tahun yang berkesan dalam hidup saya. Di tahun ini saya mengubah status dari yang semula "pelajar" menjadi "buruh kasar". Ada dua hal terindah di tahun ini. 

Pertama, secara resmi, saya menyandang S.E. di belakang nama saya, setelah berkutat dengan skripsi selama setahun (walau nilai skripsinya mengecewakan sih). 

Kedua, saya dapat memakai seragam ini tanpa perlu menunggu waktu menganggur yang cukup lama. Seminggu setelah sidang, saya dapat panggilan interview, padahal ijazah ataupun surat keterangan lulus belum ada. Untungnya, mbak-mbak HRD percaya saya sudah lulus. Hahahaha. Sebelum wisuda, saya sudah dapat bekerja.... Alhamdulillah!

Semoga 2015 punya kisah yang lebih indah lagi. Selamat Tahun Baru!!!!

Selasa, 09 Desember 2014

Kumpulan Nasihat

Dari salah satu karyawan cukup senior di kantor, "Kalo mau ikutan kursus, jalan-jalan kemana aja, atau kegiatan lain, sekarang saatnya. Mumpung masih muda, masih single. Nanti kalo udah berkeluarga, ga bisa tuh, bakalan ribet. Apalagi kalo udah punya buntut (baca: anak)." | Siap, Mas!!!


Salah satu supervisor, "Nggak berniat S2? S2 lah mumpung masih muda, belum nikah. Nanti kalo udah nikah, pikiran bakalan terpecah..." | Siap, Mbak!!!


Salah satu karyawan yang cukup senior lagi, "Buruan nikah, jangan kelamaan!!! Nggak usah pake pacaran segala... Ngapain pacaran segala? Bukan zamannya.." | Waduh, Mas....


Karyawan senior lainnya, "Lo doyan nyemil, tapi kok ga gemuk-gemuk sih? Tapi biasanya sih cowok bakal 'bengkak' setelah married... Lihat aja!" | Iya sih, Mas..


Kepala departemen saat di lift, "Lo kok kurus banget sih? Gemukin dikit lah badan lo, makan yang banyak. Tapi jangan gede-gede amat kayak gw... Jangan segede gw juga." | Susah nih, Mas...


Kadiv dalam suatu sesi serius, "Yang tahu cara menyenangkan diri kita, ya cuma diri kita. Cari kegiatan-kegiatan yang dapat menyenangkan diri kita untuk menghindari ke-boring-an kerja accounting/billing..." | Baik, Pak!!!
Masih banyak sih sebenarnya, tapi cuma ini yang terlintas di otak saya saat ini. Hehehehe...

Racauan Saya Menjelang Ujian Bahasa Belanda

Hal yang saya lakukan malam ini sepulang dari kantor adalah membuka buku kursus dan mencoba untuk mulai belajar. Maklum, Sabtu ini ada ujian kenaikan level. Hmmm, sempat melewatkan beberapa sesi membuat saya agak keteteran untuk mengejar materi ujian. Satu-satunya cara untuk mengejar ketertinggalan itu adalah mencicil belajar, bahkan membawa buku kursus dan kamus ke kantor. Perasaan kemarin baru keluar duit untuk bayar, kok sekarang sudah mau ujian lagi ya?

Memulai belajar bahasa Belanda ketika kuliah semester 7 lalu saat mata kuliah yang diambil sudah agak lowong. Saya berusaha mencari kesibukan. Mengapa kursus bahasa asing? Yaaaaa berhubung mata kuliah di jurusan selalu berhubungan dengan kuantitatif, sepertinya perlu penyegaran dengan bahasa. Sekarang, tak terasa sudah 1,5 tahun belajar bahasa ini. Kalau mengikuti kerangka pembelajaran bahasa standar Eropa, saya semestinya sudah berada di level B1. Tapi, kemampuan saya jauh di bawah itu. Hahahahaha. 

Tak terasa 1,5 tahun pula saya sering mendapat pertanyaan sindiran dari beberapa orang. “Ngapain belajar bahasa kumpeni?”, “Dulu pahlawan capek-capek ngusir tuh Belanda eh sekarang lo belajar bahasanya”, atau sejenisnya. Tanggapan saya selalu sama, senyum simpul ciri khas saya. Padahal, setahu saya, Bung Karno yang terkenal anti-Belanda juga fasih berbahasa Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan juga begitu. Mungkin mereka belajar sejarahnya setengah-setengah atau ketiduran di kelas saat ‘didongengkan’ oleh guru sejarah. 

Namun, setidaknya dengan kemampuan bahasa Belanda saya yang sangat terbatas ini, saya dapat bercakap-cakap dengan oma-oma dan opa-opa. Setidaknya ketika mengunjungi museum, saya mampu memahami beberapa teks bahasa Belanda, walau lebih banyak menerkanya sih. Tapi, yang lebih penting lagi, saya jauh lebih memahami bahasa Indonesia. Saya jadi lebih mengetahui akar kata bahasa Indonesia yang notabene banyak diserap dari bahasa Belanda, atau dari aspek grammatikanya, seperti mengapa jam 8.30 dibaca “jam setengah sembilan” dsb. 

Belajar bahasa asing bukan berarti kita menjadi orang lain. Belajar bahasa Rusia bukan berarti kita menjadi komunis, belajar bahasa Perancis bukan berarti kita sok-sokan romantis, belajar bahasa Inggris bukan berarti kita menjadi liberal. Sama halnya dengan belajar bahasa Belanda. Tidak berarti saya tidak menghargai pahlawan, tidak berarti saya tidak nasionalis, atau sebagainya. Semua tidak ada korelasinya. Itu hanya stereotip negatif yang terlanjur beredar di masyarakat. 

Satu yang saya ingat, tentang pepatah Arab yang mengatakan bahwa “Barangsiapa mempelajari bahasa suatu kaum, niscaya ia akan terbebas dari tipu daya kaum tersebut”. Ini yang saya pegang selama ini. Selamat belajar!

Jumat, 14 November 2014

Karyawan Bank vs Karyawan TV

"Enak nggak sih kerja di bank?" Pertanyaan itu sering muncul di benak saya mengingat banyaknya orang di sekeliling saya yang berlomba-lomba untuk bekerja di industri tersebut. Di samping itu, beberapa orang juga menyuruh saya untuk bekerja di sana. Salah satunya bapak kost sewaktu kuliah karena beliau pensiunan salah satu bank BUMN. Saya berusaha mencari jawaban itu, sampai pada suatu saat teman kantor saya (tax accounting staff) bercerita. Ketika ia menyetor pajak perusahaan di bank, sang karyawan bank "curhat" ke teman saya. Ia menyatakan keinginannya untuk lebih baik pindah menjadi karyawan TV saja. Alasannya karena di bank sering kena marah oleh atasannya. Sontak saya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu. Memangnya di TV ada jaminan tidak kena omel ya? Teman saya berusaha menghibur, bahwa semuanya sebanding dengan benefit yang didapatkan. Tapi katanya sama saja dengan karyawan TV. Ternyata, di balik pakaian necis dan berdasi yang semula saya pikir itu menyenangkan, keluhan tetap ada. Yaaaa, manusiawi. Tapi, itulah hidup. Semua tentang pilihan. Mau menjadi karyawan bank, karyawan TV, atau profesi lain itu pilihan. Semua ada plus dan minusnya. Plusnya jadi karyawan TV adalah jam masuk fleksibel (tapi jam pulangnya juga fleksibel tuh). Tidak seketat bank lah... Lalu, hemat budget wardrobe karena kita punya seragam. Tidak perlu pusing memikirkan baju apa yang akan dipakai besok. Minusnya? Banyak kayaknya. Hahahaha.  Tapiii semua balik lagi ke pribadi masing-masing. Kita yang lebih tahu diri kita cocoknya bekerja di lingkungan kerja yang seperti apa. Apapun pekerjaannya, yang terpenting, bekerjalah dengan hati karena akan terasa lebih berarti. Selamat menentukan karir! Maaf meracaunya kepanjangan. *Oiya, satu bulan setelah saya masuk, ada karyawan baru dan ternyata pindahan dari bank, sekarang jadi karyawan TV...* ""

Kamis, 16 Oktober 2014

IDEKU UNTUK PLN: Coretan tentang Ekonomi Ketenagalistrikan



Saat ini, kebutuhan listrik menjadi kebutuhan primer untuk masyarakat. Ketergantungan terhadap listrik dalam kehidupan sehari-hari tak terelakkan lagi, mengingat hampir semua barang kebutuhan sehari-hari mengandalkan listrik sebagai sumber energinya. Namun, sayangnya, fakta ini berbanding terbalik dengan rasio elektrifikasi di Indonesia yang sebesar 80,1 persen per September 2013 (dilansir dari laman Kementerian ESDM Republik Indonesia). Artinya, ada 20 persen rumah tangga masyarakat Indonesia yang tidak teraliri listrik. Di sisi lain, masih ada provinsi yang rasio elektrifikasinya di bawah 60%, yakni Papua dan Nusa Tenggara Timur, sementara sisanya sudah memiliki rasio di atas 60%.

Padahal, rasio elektrifikasi menjadi salah satu parameter atau indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu negara. Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu negara, dapat dikatakan semakin maju negara tersebut. Namun, fakta di lapangan menunjukkan berbagai kendala, seperti kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, lokasi sumber daya energi yang masih jauh dari pusat beban, dana pemerintah yang masih sangat terbatas, dan lain sebagainya.

Namun, saya tidak dapat menjabarkan semua permasalahan bidang ketenagalistrikan dalam tulisan blog yang sangat singkat ini. Saya tertarik melihat peran PLN sebagai penyedia listrik negara dan saya akan menggunakan kacamata ilmu ekonomi dalam tulisan ini.  Seperti yang sudah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu sasaran yang ingin dicapai oleh PLN adalah rasio elektrifikasi yang 100 persen untuk Indonesia. Namun, salah satu permasalahan yang saya kemukakan di atas adalah dana pemerintah yang terbatas. Padahal, alasan PLN bertindak sebagai satu-satunya penyedia listrik adalah sifatnya yang natural monopoly. Artinya, butuh dana investasi yang sangat besar untuk bergerak di bidang ketenagalistrikan ini karena fixed cost-nya yang besar, seperti membangun pembangkit, jaringan, dan berbagai infrastruktur lainnya.

Lantas bagaimana menghadapi dilema antara memenuhi target rasio elektrifikasi 100 persen dan biaya yang ditanggung tidak kecil? Saya teringat dengan materi kuliah Ekonomi Energi yang saya ambil sewaktu kuliah kemarin. Ada berbagai solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah ini, salah satunya menarik investor untuk masuk ke dalam industri ini. Jangan salah kaprah dulu, bukan berarti ada liberalisasi di bidang ini. Bukan berarti dikompetisikan di pasar secara bebas. Listrik swasta yang dimaksud adalah Independent Power Producer (IPP) yang berada di sisi pembangkit atau hulu. Kemudian, listrik ini dijual ke PLN melalui Power Purchase Agreement (PPA). Mengapa sektor pembangkit yang dibuka ke swasta? Ini untuk menggantikan biaya pembangkit yang menggunakan BBM yang cukup mahal per KWH-nya. Jadi, ada upaya penghematan di sisi pembangkit, sehingga masih ada celah yang dapat digunakan untuk ekspansi PLN guna mengembangkan pembangkit lainnya. Pemerintah juga dapat mendukung dengan memberikan insentif untuk mendukung investasi, seperti pembebasan pajak, jaminan risiko dari pemerintah, bunga bank yang dijamin oleh pemerintah, dan lain sebagainya. Cara lainnya, terutama di kota-kota besar atau industri, adalah memanfaatkan captive power yang biasanya digunakan oleh industri-industri besar di kawasan industri. Kelebihan dari captive power atau yang tidak digunakan dapat dijual ke pemerintah (dalam hal ini PLN). Tentunya dengan harga yang telah disepakati dan bersifat keekonomian (harga yang wajar, namun tetap menguntungkan untuk penyedia). 

Namun, hal yang perlu diingat adalah apapun dan bagaimanapun caranya jangan sampai ada pihak yang dikorbankan, termasuk konsumen. Bagaimanapun juga listrik adalah salah satu industri yang dilindungi oleh amanat UUD 1945 karena menguasai hajat hidup orang banyak. Rasio elektrifikasi boleh saja 100 persen, biaya boleh saja diminimalisasi sedemikian rupa, ekspansi PLN boleh saja dilakukan, namun tetap saja kemampuan bayar (willingness to pay) konsumen atau masyarakat Indonesia tetap harus diperhatikan. Jangan sampai konsumen tersetrum melihat tagihan rekening listrik. 

Ditulis oleh Andre Sunanta (andranta.broadcaster@gmail.com) 

Referensi:
Bahan Kuliah Ekonomi Energi (Dosen Deddy S. Priatna). Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEUI.
Laman Kementerian ESDM Republik Indonesia.

Minggu, 17 Agustus 2014

#StandUpGalau Di Tukang Service Handphone...

#fiktif
Di tukang service handphone...

X: :Koh, mau service handphone dong. Handphone saya aneh, kayaknya rusak."

Tukang service: "Boleh. Aneh kenapa?"

X: "Aneh aja, setiap saya telepon MANTAN saya kok ga pernah bisa ya? Nada sambungnya masuk, tapi ga pernah diangkat. Padahal handphone saya baru lhooo.."

#StandUpGalau Anak Ilmu Ekonomi dan Jurnal Penyesuaian...

Walau saya anak IE, saya bisa kok buat jurnal penyesuaian untuk menyesuaikan depresiasi aset, utang, piutang, beban, dll.. Cuma satu yang tidak saya bisa, yaitu menyesuaikan diri ini menjadi seperti yang kau minta... ‪#‎ihiiiyyyyyyyyyyyy‬

#StandUpGalau