PENGANTAR EKONOMI 2: Prof. Rustam Didong, S.E., M.A., Ph.D. dan Rus'an Nasrudin, S.E., MIDEc.
MIKROEKONOMI 1: Dr. Sartika Djamaluddin, S.E., M.Si.
INTERMEDIATE MICROECONOMICS: Isfandiary Djafaar, S.E., M.Soc.Sc.
MAKROEKONOMI 2: I Kadek Dian Sutrisna Artha, S.E., M.Sc., Ph.D.
Total Tayangan Halaman
Selasa, 24 Juni 2014
Dimanakah Tempat Bahasa Daerah?
Di mata saya,
orang yang menguasai banyak bahasa asing itu seksi. Namun, orang yang menguasai
banyak bahasa daerah itu jauh memesona. Mengapa? Karena untuk sekarang ini,
sangat sulit menemukan orang yang menguasai banyak bahasa daerah daripada menguasai
banyak bahasa asing. Rata-rata mereka yang menyebut diri mereka sebagai polyglot – istilah untuk orang yang
menguasai banyak bahasa – hanya menguasai banyak bahasa asing. Tidak bisa
disalahkan juga sih, mengingat akses untuk belajar bahasa asing itu relatif
lebih mudah daripada untuk mempelajari bahasa daerah. Tengok saja banyak
lembaga kursus bahasa asing di sekitar kita. Penyelenggaranya bisa dari kampus,
lembaga kursus, sampai pusat kebudayaan di bawah kedutaan besar. Belum lagi
akses pembelajaran melalui internet yang sangat mudah ditemukan.
Sekarang
bandingkan dengan pembelajaran bahasa daerah. Adakah lembaga kursus yang
membuka kelas bahasa daerah? Hmmm.. Namanya juga bisnis. Kalau tidak ada demand, mengapa harus ada supply? Begitu kata teori ekonomi. Yang
lebih parah lagi adalah ada beberapa daerah yang menghapus mata pelajaran bahasa
daerah untuk muatan lokalnya dan menggantinya dengan bahasa asing. Belum lagi,
orang tua yang sudah sangat jarang mengajarkan anaknya bahasa daerah dan
menyekolahkan anaknya ke sekolah bilingual bahkan trilingual. Terkadang, anak
tersebut juga bingung membedakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa
nasionalnya dengan bahasa Inggris atau bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar
di sekolahnya. Lantas, dimanakah tempat bahasa daerah?
Senin, 23 Juni 2014
Inikah Demokrasi?
Sebagai orang awam yang buta dengan pemahaman politik, terkadang saya
bertanya, apakah ini yang disebut demokrasi? Saling hujat, saling cela,
saling cemooh, saling fitnah, saling gosip, dsb... Jangan salahkan kami,
kalau seandainya kami jenuh dengan kondisi ini dan akhirnya kami apatis
serta memilih untuk golput pada pemilu nanti. Bukankah pemilu dan
partai politik merupakan sarana pendidikan politik? Lalu kemanakah
fungsi itu? Semua tak ubahnya seperti anak SMA yang primordial
berlebihan dengan sekolahnya hingga berujung pada tawuran....
Langganan:
Postingan (Atom)