Saat ini, kebutuhan listrik
menjadi kebutuhan primer untuk masyarakat. Ketergantungan terhadap listrik
dalam kehidupan sehari-hari tak terelakkan lagi, mengingat hampir semua barang
kebutuhan sehari-hari mengandalkan listrik sebagai sumber energinya. Namun,
sayangnya, fakta ini berbanding terbalik dengan rasio elektrifikasi di
Indonesia yang sebesar 80,1 persen per September 2013 (dilansir dari laman Kementerian
ESDM Republik Indonesia). Artinya, ada 20 persen rumah tangga masyarakat
Indonesia yang tidak teraliri listrik. Di sisi lain, masih ada provinsi yang
rasio elektrifikasinya di bawah 60%, yakni Papua dan Nusa Tenggara Timur,
sementara sisanya sudah memiliki rasio di atas 60%.
Padahal, rasio elektrifikasi
menjadi salah satu parameter atau indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat
kemajuan suatu negara. Semakin tinggi rasio elektrifikasi suatu negara, dapat
dikatakan semakin maju negara tersebut. Namun, fakta di lapangan menunjukkan
berbagai kendala, seperti kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan,
lokasi sumber daya energi yang masih jauh dari pusat beban, dana pemerintah
yang masih sangat terbatas, dan lain sebagainya.
Namun, saya tidak dapat
menjabarkan semua permasalahan bidang ketenagalistrikan dalam tulisan
blog yang
sangat singkat ini. Saya tertarik melihat peran
PLN sebagai penyedia listrik
negara dan saya akan menggunakan kacamata ilmu ekonomi dalam tulisan ini.
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa salah satu sasaran yang ingin dicapai oleh
PLN adalah rasio
elektrifikasi yang 100 persen untuk Indonesia. Namun, salah satu permasalahan
yang saya kemukakan di atas adalah dana pemerintah yang terbatas. Padahal, alasan
PLN bertindak sebagai satu-satunya penyedia listrik adalah sifatnya yang
natural monopoly. Artinya, butuh dana
investasi yang sangat besar untuk bergerak di bidang ketenagalistrikan ini
karena
fixed cost-nya yang besar,
seperti membangun pembangkit, jaringan, dan berbagai infrastruktur lainnya.
Lantas bagaimana menghadapi
dilema antara memenuhi target rasio elektrifikasi 100 persen dan biaya yang
ditanggung tidak kecil? Saya teringat dengan materi kuliah Ekonomi Energi yang
saya ambil sewaktu kuliah kemarin. Ada berbagai solusi yang dapat ditawarkan
untuk mengatasi masalah ini, salah satunya menarik investor untuk masuk ke
dalam industri ini. Jangan salah kaprah dulu, bukan berarti ada liberalisasi di
bidang ini. Bukan berarti dikompetisikan di pasar secara bebas. Listrik swasta
yang dimaksud adalah
Independent Power
Producer (IPP) yang berada di sisi pembangkit atau hulu. Kemudian, listrik
ini dijual ke
PLN melalui
Power Purchase
Agreement (PPA). Mengapa sektor pembangkit yang dibuka ke swasta? Ini untuk
menggantikan biaya pembangkit yang menggunakan BBM yang cukup mahal per
KWH-nya. Jadi, ada upaya penghematan di sisi pembangkit, sehingga masih ada
celah yang dapat digunakan untuk ekspansi
PLN guna mengembangkan pembangkit
lainnya. Pemerintah juga dapat mendukung dengan memberikan insentif untuk
mendukung investasi, seperti pembebasan pajak, jaminan risiko dari pemerintah,
bunga bank yang dijamin oleh pemerintah, dan lain sebagainya. Cara lainnya,
terutama di kota-kota besar atau industri, adalah memanfaatkan
captive power yang biasanya digunakan
oleh industri-industri besar di kawasan industri. Kelebihan dari
captive power atau yang tidak digunakan
dapat dijual ke pemerintah (dalam hal ini
PLN). Tentunya dengan harga yang
telah disepakati dan bersifat keekonomian (harga
yang wajar, namun tetap menguntungkan untuk
penyedia).
Namun, hal yang perlu diingat
adalah apapun dan bagaimanapun caranya jangan sampai ada pihak yang
dikorbankan, termasuk konsumen. Bagaimanapun juga listrik adalah salah satu
industri yang dilindungi oleh amanat UUD 1945 karena menguasai hajat hidup
orang banyak. Rasio elektrifikasi boleh saja 100 persen, biaya boleh saja
diminimalisasi sedemikian rupa, ekspansi
PLN boleh saja dilakukan, namun tetap
saja kemampuan bayar (
willingness to pay)
konsumen atau masyarakat Indonesia tetap harus diperhatikan. Jangan sampai
konsumen tersetrum melihat tagihan rekening listrik.
Ditulis oleh Andre Sunanta (andranta.broadcaster@gmail.com)
Referensi:
Bahan Kuliah Ekonomi Energi (Dosen Deddy S. Priatna). Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi FEUI.
Laman Kementerian ESDM Republik Indonesia.